ASSALAMUALAIKUM SELAMAT DATANG DIBLOG Q

Rabu, 15 Desember 2010

jender dalam persepektif islam

BAB 1

PENDAHULUAN
Pendidikan Jender pada masa sekarang bukan suatu hal yang asing lagi bahkan sudah menjadi hal yang sangat urgen. Wacana global tentang persamaan hak asasi manusia --yang meliputi pula persamaan jender menuntut adanya respon dari siapapun dan di manapun. Adalah ummat Islam yang memiliki ajaran serba kumplit yang juga harus merespon isu tersebut. Melalui pendidikan jender ummat Islam dapat memperdalam wawasan jender sehingga tidak ikut-ikutan terbawa oleh arus wacana global yang belum tentu sesuai dengan Islam. Selain memperdalam, ummat Islam juga bisa mengevaluasi wawasan jender yang sudah mereka ketahui dan kemudian mereinterpretasikan dalam bentuk gagasan baru yang sesuai dengan konteks kekinian tetapi tetap berpijak kepada asas-asas normatif Islam.
Banyak kalangan yang menuduh bahwa Islam merendahkan derajat wanita, atau dalam ungkapan yang lebih halus Islam mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan Islam menurut mereka tidak berkeadilan jender karena menempatkan perempuan tersubordinasi dari laki-laki. Ungkapan tersebut sekilas seperti benar karena dalam beberapa bidang pelaksanaan ajaran Islam terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti laki-laki harus menjadi seorang pemimpin baik pemimpin keluarga maupun masyarakat, waris yang memberi bagian kepada laki-laki dua kali lipat dari perempuan, larangan sholat dan puasa bagi perempuan yang sedang haid, atau saksi yang mengharuskan dua orang jika dilakukan oleh perempuan. Selain itu, secara tekstual ada pula dalil-dalil yang mengindikasikan laki-laki lebih unggul ketimbang perempuan seperti dalam surat al-Nisa ayat 34 atau hadits yang menyebutkan bahwa perempuan kurang akalnya dan pula agamanya.
Tuduhan tersebut tentu saja tidak bisa dibenarkan karena bertolak belakang dengan prinsip keadilan yang oleh Islam sendiri sangat dijunjung tinggi. Keadilan yang diakui dalam Islam termasuk juga keadilan jender. Islam memandang wanita sebagai manusia yang mandiri yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Konsep Islam tentang jender sepenuhnya harus mengacu kepada ketentuan al-Quran dan Hadits. Islam memiliki alasan tersendiri jika dalam suatu ajarannya ada yang harus dibedakan antara laki-laki dan perempuan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN JENDER
Istilah “jender” berasal dari bahasa Inggris, gender, yang berarti “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.” Dalam Women’s Studies Encyclopedia sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar, jender diartikan sebagai suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas,dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam bukunya, Nasaruddin juga mengutip definisi jender yang diberikan oleh HT. Wilson dalam Sex and Gender. Wilson mengartikan jender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kajian jender yang dimaksud adalah bukan jender dalam perpektif biologi, tetapi jender dalam perspektif sosial-budaya.
Pada saat seorang anak dilahirkan jenis kelaminnya sudah bisa diketahui apakah laki-laki atau perempuan, dan pada saat yang bersamaan pula beban dan tugas gender langsung diperoleh secara otomastis oleh anak itu dari lingkungan dan masyarakatnya. Beban jender seseorang tergantung dari nilai-nilai budaya yang berkembang di dalam masyarakat. Dalam masyarakat patrilineal dan androsentris, beban jender seorang anak laki-laki sejak awal lebih dominan dibanding perempuan. Relasi gender yang ada di masyarakat dengan demikian sebenarnya adalah hasil dari konstruksi budaya mereka yang berlangsung sekian lama secara tak tersadari. Dalam konteks budaya, jender berarti bukan kodrat kemanusiaan yang harus diterima apa adanya sebagai takdir, tetapi merupakan bentukan masyarakat itu sendiri dalam meletakkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
B. PENDIDIKAN JENDER PERSPEKTIF ISLAM
Pendidikan jender bisa diartikan sebagai pendidikan tentang pembongkaran mitos-mitos yang menyudutkan posisi perempuan. Berbagai isu jender seperti persamaan martabat, kedudukan, kesempatan, hak dan kewajiban, dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan adalah isu krusial yang mesti include dalam pendidikan jender. Isu-isu tersebut harus dilihat berdasarkan perspektif Islam secara utuh karena meskipun diakui sebagai hal yang bersifat universal, akan tetapi hal-hal detilnya yang bersifat partikular yang ada dalam Islam juga tidak boleh diabaikan.
Dari segi esensinya, pendidikan jender tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Apalagi jika pendidikan jender bertujuan untuk memberdayakan perempuan dan melindunginya dari sikap-sikap diskriminatif yang merugikan, Islam bahkan mendorongnya. Perempuan juga sangat didorong oleh Islam untuk memiliki kemajuan intelektual sehingga tidak hanya mampu melakukan aktifitas domestik di rumahnya tetapi juga aktifitas kolektif di tengah kehidupan sosialnya. Salah satu hikmah diturunkannya agama Islam juga adalah diangkatnya harkat dan martabat perempuan. Dalam banyak hal Islam telah menyamakan kedudukan laki-laki dan wanita meskipun dalam hal-hal tertentu masih dibedakan.
Pendidikan jender dalam perspektif Islam tidak mengandung arti pembebasan perempuan dari segala hal yang membatasinya. Islam sebagai agama tetap memberikan batasan kepada siapapun baik laki-laki maupun perempuan agar ia mentaati ajaran agama yang diturunkan oleh Allah. Bahkan batasan-batasan tertentu harus tetap ditaati meskipun batasan tersebut tidak berlaku untuk laki-laki dan hanya berlaku untuk perempuan, misalnya larangan sholat pada waktu haid. Pendidikan jender dalam perspektif Islam dengan demikian tidak hanya memiliki dimensi perlindungan dari sikap diskriminasi dan pemberdayaan terhadap potensinya, tetapi pada saat yang bersamaan juga memiliki dimensi pemeliharaan kehormatannya di tengah masyarakat dan ketaatannya di mata Allah SWT.
Adapun dari segi substansinya, pendidikan jender menurut konsep Islam tidak bisa dilepaskan dari sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Hadits. Materi-materi pengajaran yang ada dalam pendidikan jender semuanya merujuk kepada kedua sumber tersebut. Di sini mungkin akan terjadi perbedaan pendapat antara pihak yang memahami al-Quran dan Hadits secara tekstual dan yang kontekstual. Mereka yang memahaminya secara tekstual, maka ayat-ayat maupun hadits-hadits Nabi yang mengandung perbedaan antara laki-laki dan perempuan atau yang menempatkan laki-laki superior di atas perempuan, maka ayat dan hadits tersebut akan dipahami secara tekstual pula (apa adanya). Sedangkan mereka yang memahaminya secara kontekstual, maka ayat dan hadits tersebut akan diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya pula.
Dalam Al-Quran sendiri terkandung ayat-ayat yang sementara ini dipahami oleh sejumlah ulama secara misoginis, seperti di antaranya ayat waris yang memberikan bahagian kepada laki-laki lebih banyak dua kali lipat dari bagian perempuan (al-Nisa: 176). Tetapi, selain itu al-Quran juga mengandung ayat-ayat yang bernuansa kesetaraan jender antara laki-laki dan perempuan, misalnya ayat tentang berbuat kesalihan yang akan dibalas sama baik laki-laki maupun perempuan (al-Nisa: 124). Meski ayat yang disebutkan pertama seolah-olah menjustifikasi superioritas laki-laki atas perempuan, tetapi harus kita pahami bahwa konteks masyarakat Arab saat itu adalah masyarakat yang sangat merendahkan derajat perempuan. Upaya peningkatan derajat perempuan tidak bisa dilakukan secara frontal, tetapi harus secara perlahan-lahan. Ketika Islam datang, perempuan sudah mulai dihargai dalam banyak hal. Dalam sebagian hal derajat perempuan sudah dinaikkan tetapi belum bisa sama proporsinya dengan laki-laki seperti tercermin pada ayat pertama, tetapi dalam sebagiannya lagi derajat perempuan sudah sama dengan laki-laki seperti tercermin pada ayat kedua. Meski demikian, ada sejumlah ulama lainnya yang memberikan pemahaman lain terhadap ayat-ayat tersebut.
Sedangkan di antara hadits yang banyak diklaim misoginis adalah:
“Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah SAW berangkat ke tempat shalat padaHari Raya Idul Adha atau Idul Fitri. Ketika berjumpa dengan para wanita, beliau bersabda, ”hai para wanita, bersedekahlah kalian sebab saya lihat kalian paling banyak sebagai penghuni neraka.” Kemudian para wanita bertanya: “ mengapa Rasul?” kemudian Rasul menjawab, “kalian banyak mengucapkan kutukan dan mengingkari kebaikan suami. Aku tidak pernah melihat wanita-wanita yang kurang akal dan agamanya dapat meluluhkan hati pria yang kokoh perkasa dari salah seorang di antara kalian”. Mereka bertanya, “di mana letak kekurangan akal dan agama kami ya Rasul?”. Beliau menjawab, “bukankah kesaksian seorang wanita setara dengan kesaksian separuh kesaksian pria?”. Mereka berkata “betul”. Rasulullah bersabda, “itulah kekurangan akalnya. Bukankah bila wanita sedang haid tidak sholat dan tidak berpuasa?”. Mereka berkata “betul”. Rasulullah SAW bersabda, “begitulah kekurangan agamamu”. HR. Bukhari.

Adapun yang dimaksud dengan ungkapan kurang akal dan agamanya adalah aspek tertentu saja seperti sebagaimana disebut dalam hadits tersebut aspek kesaksian dalam bidang akal dan aspek tidak melakukan ibadah tertentu ketika sedang haid. Kurang “akal dan agamanya” tidak bisa dipahami secara umum sehingga meliputi semua aspek. Karena, pada kenyataannya baik di masa Rasul maupun sekarang, wanita dan kaum ibu juga memiliki sejumlah tanggung jawab yang berat misalnya mengurus anak dan mengatur belanja rumah. Jika wanita kurang akal, tentu dua tugas yang banyak diambil perannya oleh wanita itu tidak akan diserahkan kepada mereka. Selain itu, wanita juga banyak tertaklif (terkena kewajiban) oleh agama dalam banyak hal termasuk dalam hal yang membutuhkan tanggung jawab besar seperti berjihad. Adapun mereka tidak bisa melakukan ibadah tertentu ketika haid, tidak berarti agamanya betul-betul kurang. Rasul hanya ingin mengingatkan kepada para wanita bahwa pada waktu haid wanita tidak bisa melaksanakan ibadah-ibadah tersebut, karena itu wanita yang sedang haid jangan berpangku tangan, tetapi harus mengisi waktu luangnya dengan ibadah lainnya yang bernilai tinggi.
Selain hadits di atas, hadits lain yang juga banyak disorot yang terkait dengan isu jender adalah Hadits yang berbunyi “surga berada di bawah telapak kaki kaum ibu.” Hadits ini bisa memiliki pengertian ganda. Pertama, kaum ibu atau wanita memiliki posisi yang sangat penting dan agung sehingga harus dihormati sedemikian rupa. Permisalan surga berada di bawah telapak kaki kaum ibu menunjukkan pentingnya kaum ibu bagi siapa saja yang ingin masuk surga (bahagia). Peranan penting yang dimiliki wanita yang dimaksud hadits tersebut bisa dalam urusan keluarga dan bisa pula dalam urusan kehidupan bermasyarakat secara luas. Kedua, kaum ibu menurut proporsinya berperan lebih banyak dalam ruang domestik. Dengan pengertian yang kedua ini, hadits di atas menunjukkan bahwa ibu berperan sangat penting dalam ruang domestik, yaitu dalam hal-hal yang terkait dengan urusan keluarga. Artinya, seorang anak jika ingin memperoleh surga dari Allah, maka ia harus berbakti kepada ibu.
Peranan domestik wanita menurut pengertian kedua banyak dianut oleh masyarakat terutama masyarakat Timur. Di Timur, salah satunya Indonesia, image wanita sebagai istri pendamping suami, ibu pendidik anak, pengatur rumah tangga dan sebagainya sudah terkonstruksi dengan kuat sebagai peranan yang melekat secara taken for granted pada wanita. Kalaupun ada wacana tentang kemandirian dan pemberdayaan wanita, maka wacana tersebut sering berangkat dari kerangkan konstruksi peranan domestik itu. Peranan domestik wanita kemudian terbangun sangat kuat dan telah membuat orang percaya sepenuhnya bahwa peranannya itu merupakan takdir wanita, kodrat, atau hukum alam yang telah diciptakan dan ditentukan oleh Tuhan. Wanita dengan demikian proporsinya hanya sebagai subjek dan objek reproduksi.
Jika kembali melihat al-Quran, kita dapat menemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa wanita adalah seorang yang mandiri yang memiliki kesempatan sama untuk berperan dalam wilayah publik. Misalnya, surat al-Naml ayat 23 menunjukkan kemandirian wanita –yang direpresentasikan oleh ratu Bilqis—dalam bidang politik, surat al-Qashash ayat 23 menunjukkan kemandirian dalam bidang ekonomi –yang direpresetasikan oleh dua orang wanita yang mengelola ternak, dan surat al-Taubah ayat 71 yang menunjukkan kesamaan kesempatan antara wanita dan laki-laki dalam melakukan amar ma’ruf nahyi al-munkar.
Dalam Islam, hubungan keluarga antara suami dan istri bukanlah hubungan yang dibentuk secara hirarkis, suami di atas istri atau istri subordinasi dari suami. Jenis hubungan antara suami dan istri adalah hubungan fungsional yang bisa dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama. Hubungan fungsional ini dilengkapi oleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang masing-masing mereka miliki secara seimbang. Jika suami memiliki kewajiban mencari nafkah dan mengayomi istrinya, maka sebagai timbal balik suami juga mempunyai hak untuk ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Demikian juga kewajiban di antara keduanya dilaksanakan secara timbal balik.
Adapun surat al-Nisa ayat 34 yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita tidak menunjukkan bahwa wanita selalu menjadi subordinasi dari laki-laki, atau laki-laki harus selalu menjadi pemimpin atas wanita. Dalam ayat itu juga disebutkan bahwa kepemimpinan laki-laki terwujud dikarenakan kelebihan mereka dan usaha mereka dalam mencari nafkah. Jika ternyata laki-laki tidak memiliki kelebihan atas istrinya, atau mereka sederajat bahkan wanita lebih unggul dari pada suami atau laki-laki lainnya, maka dengan sendirinya kepemimpinan laki-laki atas wanita pun tidak menjadi keharusan lagi. Selain itu ayat tersebut menyebutkan kata “sebagian” yang mengandung arti bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita tidak bisa digeneralisir untuk setiap hal dalam setiap kondisi dan tempat. Wanita dalam hal-hal tertentu dapat saja menjadi pemimpin atas laki-laki. Bahkan sebagai contoh, Ruth Roded berhasil mengilustrasikan bagaimana peranan wanita yang sangat penting dalam rangkaian transformasi ilmu melalui periwayatan hadits. Hampir seribu wanita muslimah yang terlibat dalam meriwayatkan hadits dan tetap dirujuk oleh para perawi-perawi laki-laki.
BAB III
PENUTUP
Pendidikan jender adalah suatu hal yang penting dalam Islam. Konsep pendidikan jender dalam Islam harus direlevansikan dengan al-Quran dan Hadits. Islam mengakui persamaan harkat, martabat, derajat, kesempatan, hak, dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan. Adapun pembatasan dan pembedaan yang ada dalam ajaran Islam adalah justeru untuk menjaga kehormatan perempuan itu sendiri atau dimaksudkan untuk menjaga keserasian dirinya sebagai manusia yang berjenis kelamin feminin. Islam pada intinya tidak merendahkan derajat wanita sebagaimana dituduhkan banyak pihak.
Islam membolehkan perempuan berkiprah dalam wilayah publik selama tugas-tugas domestik yang dimilikinya dapat terlaksana secara terpadu. Islam memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk meraih prestasi atau kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Khurshid. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, terj., Bandung: Mizan, 1985.

Bukhari, al-Jami’ al-Shahih Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Ciciek, Farha. Jender dalam Wacana Mutakhir dalam Dewantoro, M. Hajar. ed., Rekonstruksi Fiqih Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Modern, Yogyakarta: Ababil, 1996.

Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandun: al-Ma’arif, 1980.

Mas’udi, Masdar F. Islam dan Hak-hak Produksi Perempuan, Bandung: Mizan, 1997.

Qazan, Shalah. Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, Solo: Era Intermedia, 2001.

Roded, Ruth. Kembang Peradaban, Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi Muslim, Bandung: Mizan, 1995.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Quran, Jakarta: Paramadina, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar